Halloween party ideas 2015



Edward Lee Thorndike (1874-1949), mendapatkan gelar sarjana dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895 dan gelar Master dari Hardvard pada tahun 1897. Kemudian menerima beasiswa dari Colombia untuk melanjutkan jenjang pendidikannya hingga mencapai gelar Ph.D pada tahun 1898. Selanjutnya, dia menetap dan mengajar di Colombia sampai pensiun pada tahun 1940. 

Thorndike adalah seorang fungsionalis pada masanya. Dia membentuk tahapan behaviorisme di negara Rusia dalam versi Amerika. 
Semasa hidupnya, Thorndike gemar menuliskan hal-hal baru yang didapatkannya melalui pengalaman hidup sehari-hari. 

Melalui tulisan-tulisannya, ia pun menghasilkan karya besar yang sangat berpengaruh dalam perkembangan teori behavioristik hingga sekarang ini, yaitu melalui bukunya yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of association process in Animal”. Buku ini merupakan kumpulan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah laku beberapa jenis hewan, seperti: kucing, anjing, dan burung.

Thorndike menyatakan bahwa dasar utama seseorang belajar (learning) adalah asosiasi, dimana stimulus yang didapatkan akan menimbulkan respon tertentu. Fenomena ini disebutkan dengan teori S-R (stimulus-respon). 

Hal terpenting dalam teori S-R ini adalah kejadian pertama dalam proses belajar, yaitu ketika pertama kali organisme (hewan dan orang) melakukan belajar dengan cara “coba salah” (trial end error). Artinya, jika organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah tersebut. 

Berdasarkan pengalaman itulah maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia akan mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu pula. 

Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang yang terkunci,  maka ia akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya, sampai suatu saat, secara kebetulan ia menginjak sebuah pedal yang sengaja di pasangkan dalam kandang itu sehingga kandang itu pun terbuka. Maka sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal jika ia dimasukkan lagi ke dalam kandang yang sama.

Dasar Koneksionisme
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Thorndike menjadi terkenal dengan sebutan “connectionism” (koneksionisme) dan mulai mempengaruhi dunia pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat pada saat itu. 

Thorndike memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi (persatuan hubungan) antara kesan panca indera (sense of impression) dengan dorongan yang muncul untuk bertindak (impuls to action). 

Ini artinya, teori behavioristik yang juga di kenal dengan nama contemporary behaviorist ini, memandang bahwa belajar akan terjadi pada diri anak, jika anak tersebut mempunyai ketertarikan terhadap masalah yang dihadapi. 

Siswa dalam konteks ini dihadapkan pada sikap untuk dapat memilih respons yang tepat dari berbagai respons yang mungkin bisa di lakukan. 

Teori ini menggambarkan bahwa tingkah laku siswa di kontrol oleh kemungkinan mendapat hadiah external atau reinforcement, yang terdapat hubungannya antara respons tingkah laku dengan pengaruh hadiah. 

Inti Teori Belajar Thorndike
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. 

Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar, seperti: pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. 

Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang berupa: pikiran, perasaan, atau gerakan, serta tindakan. 

Jadi, perubahan tingkah laku sebagai akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud konkrit (yang dapat di amati), atau tidak konkrit (yang tidak dapat di amati). 

Meskipun aliran behavioristik sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat di amati. Sehingga teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Asumsinya di sini adalah tingkah laku siswa pada hakikatnya merupakan respons terhadap lingkungan yang lalu dan sekarang, dan semua tingkah laku yang di pelajari.

Mencermati asumsi ini, apa sebenarnya tugas utama guru? Guru harus mampu menciptakan lingkungan belajar (lingkungan kelas atau sekolah, dsb) pada diri siswa yang dapat memungkinkan terjadinya penguatan (reinforcement) dalam diri siswa. 

Lingkungan yang dimaksud di sini bisa berupa benda, orang atau situasi tertentu yang semuanya dapat berdampak pada munculnya tingkah laku anak. 

Sebagai misalnya, terdapat siswa yang memiliki perangai suka mengganggu temannya pada setiap waktu belajar, sementara temannya yang diganggu juga bersikap kooperatif, dalam artian menanggapi obrolannya. Kemudian tercipta lingkungan kondusif atau yang memberikan penguatan, maka kondisi semacam ini menjadikan siswa tersebut akan memiliki sikap untuk senantiasa berperilaku sebagai pengganggu. 

Sebaliknya, ketika lingkungan tidak memberikan penguatan (reinforcement) terhadap sikap atau tingkah laku siswa sebagai pengganggu tadi, tetapi hal ini justru disukainya, maka kondisi semacam ini menjadikan siswa tersebut akan berperilaku sebagai seorang pendiam. 

Sebagai misal selanjutnya, terdapat siswa yang berada dalam lingkungan berupa ketersediaan sumber belajar (berupa buku, majalah, komputer dan sejenisnya), maka hal ini akan memberikan penguatan pada diri siswa, sehingga menjadikan siswa paham, mengerti, dan terampil dalam menggunakan sumber belajar terebut.

Menurut Thorndike, belajar akan berlangsung pada diri siswa jika siswa berada dalam tiga macam hukum belajar, dimana hukum kesiapan belajar ini merupakan prinsip yang menggambarkan suatu keadaan dimana siswa akan cenderung mendapatkan kepuasan ataupun ketidakpuasan. Ketiga hukum belajar yang di utamakan disini adalah: (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991).

Dalam konteks ini, kurang lebih terdapat tiga situasi dan kondisi yang mungkin saja dapat terjadi, yaitu: 

(1) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut akan membawa kepuasan

(2) Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, tetapi tidak berkonduksi, maka akan menimbulkan ketidakpuasan

(3) Jika suatu unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksakan untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpuasan. 

Sebagaimana dalam proses belajar yang nantinya terjadi pada diri siswa bisa terlaksana dengan baik jika siswa tersebut berada dalam kondisi siap untuk belajar (berinteraksi dengan lingkungan). 

Hukum Belajar Thorndike
Karna itu, maka Thorndike kemudian mengajukan tiga (3) hukum dasar tentang perilaku belajar, yaitu sebagai berikut:

The Law of Readiness (hukum kesiapan belajar). Dalam artian bahwa, siswa akan berada diantara indikator yang memungkinkan sebuah kondisi “siap” untuk belajar, yaitu dalam pemahamannya seperti: (a) siswa dapat mengerti dan memahami orang lain (misalnya guru, teman, dan orang lain yang ada di sekolah). Sebab dalam kondisi seperti ini, siswa tidak akan merasa asing, atau tidak punya teman untuk meminta tolong, sebagaimana jika dia berada di rumah dekat dengan orang tuanya. (b) siswa berani mengutarakan apa yang ada dalam benak pikiran atau keinginannya (sebab terdapat orang yang akan melindungi dan melayaninya, misalnya mau kencing ke belakang, tidak punya alat tulis, bukunya ketinggalan, dan sejenisnya. (c) siswa dapat memahami dan mampu melakukan apa yang di perintahkan atau diajarkan oleh gurunya.

The Law of Exercise (hukum latihan). Hukum latihan ini mengandung dua macam hukum, yaitu (a) low of use, yaitu hubungan akan menjadi bertambah kuat jika ada latihan, dan (b) low of disuse, yaitu hubungan akan menjadi melemah atau terlupakan kalau latihan dihentikan. Hukum ini juga mengandung makna bahwa proses belajar pada diri siswa (terampil jika diminta mempraktikkan, dapat menjelaskan ketika ditanya, karena si anak sering berlatih uji keterampilan atau senantiasa membaca), akan berhasil atau tidak berhasil sangat ditentukan oleh seberapa banyak dan efektif latihan yang diterima. Semakin sering dan banyak siswa melakukan latihan, akhirnya dia akan terampil melakukannya.

The Law of Effect (hukum akibat, efek atau pengaruh). Dalam artian disini bahwa, semakin sering siswa membaca atau mengulangi materi yang dipelajari, maka siswa tersebut akan menjadi semakin tahu dan paham, sebagai “efek” atau pengaruh yang ditimbulkan dari membaca dan mengulangi materi tadi. Sehingga hukum hasil ini mengisyaratkan bahwa makin kuat dan atau makin lemahnya suatu hubungan adalah sebagai akibat dari hasil respons yang dilakukan. Tentu saja, pemahaman akan hadiah yang diterima siswa atau prestasi belajar yang memuaskan dapat diraih, akan juga berakibat pada kondisi diulanginya atau dilanjutkannya respons atau perbuatan yang dimaksud. Karena apa yang ia lakukannya kemudian menjadi dipahami, sehingga akan dapat membawa keberhasilan.

Dari penjelasan ketiga hukum tersebut, hukum pengaruh Thorndike menyatakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, maka kemungkinan tindakan itu akan di ulangi dalam situasi yang mirip, dan cenderung pula meningkat. 

Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu akan di ulangi, namun cenderung akan menurun. 

Sehingga menjadi jelas di sini, bahwa konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu akan memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya (Dahar Wilis Ratna, 2011:19).

Jika disederhanakan lagi intisari pembelajaran yang digagas Thorndike ini, maka pembelajaran merupakan pembentukan hubungan antara stimulus-respon melalui langkah-langkah penguatan. 
Konsep pembelajaran Thorndike inilah yang kemudian menjadi dominan dalam teori pembelajaran di negara Amerika, dimana sebagian teoretisi pembelajaran di seluruh dunia berpegang pada versi tertentu dari pandangan Thorndike ini hingga pertengahan abad ke-20. 

Bahkan tidak hanya sampai di situ saja pengaruh gagasan pembelajaran dari Thorndike ini, sebagaimana dinyatakan lewat tulisan oleh Edward Tolman (1938); dalam Hill Winfred (2011:57), bahwa..“kita bisa setuju atau tidak setuju dengan Thorndike, atau berusaha memperbaiki pendapatnya dengan berbagai cara, tetapi Thorndike tetap menjadi titik awal bagi segala diskusi mengenai pembelajaran”.

Oleh: Abdy Busthan

Post a Comment

Profil Saya

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6vbBZ2pWiZ3UT6KzmydJsI8uu2evuDFDFRWIfl2X4fVu5h281O_CQlp3axcC7ZJpfx2f2br7EPr6mDG9Mdpg-3IC2EUHXJ9rFDRNcrs3wlJGMJ5HrazVTt8Z8Y4_-8oQVkBbWYmQD-ig/s640/r56722.jpg} Abdy Busthan adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran, serta pembina dan peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua. {facebook#https://www.facebook.com/AbdyBS/} {twitter#https://twitter.com/abdybusthan} {google#https://busthan-abdy.blogspot.com/} {pinterest#https://id.pinterest.com/abdybusthan213/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCnLMvY91iOTKgfvwd2hfJsg?view_as=subscriber} {instagram#https://www.instagram.com/busthanabdy/}
Theme images by sbayram. Powered by Blogger.