Konsep pendidikan Kristen merupakan sesuatu yang dinamis. Menurut Sidjabat (2007) pendidikan Kristen dipahami sebagai berikut:
"Pendidikan Kristen merupakan upaya ilahi dan manusiawi, dilakukan secara bersahaja dan berkesinambungan, untuk memberikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan, sensitivitas, tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen. Pendidikan mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok dan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga bersesuaian dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, terutama dalam Kristus Yesus, serta diwujudkan oleh upaya itu."
Menarik untuk di kaji secara lebih mendalam pandangan Sidjabat tentang pendidikan kristen. Pertama, pendidikan Kristen merupakan suatu tindakan yang di implementasikan Allah sendiri. Artinya pendidikan Kristen diselenggarakan Allah secara langsung, dalam rencana penyelamatan. Kedua, definisi pendidikan Kristen memiliki tujuan mentrasformasikan rencana Allah sendiri yang nampak dalam misi Kristus. Ini berarti, pendidikan Kristen adalah sarana menyampaikan dan mentrasformasikan kehendak-Nya kepada manusia. Dalam hal mengacu pada konsep penyelamatan atau keselamatan di dalam Kristus. Dan, orang percaya diposisikan sebagai sasaran transformasi karya penyelamatan Allah. Ketiga, keselamatan Allah berlangsung dalam konteks riil, yakni manusia dan dunianya. Artinya, pendidikan harus tampil menjadi alat Allah dalam mendemonstrasikan keselamatan yang total, baik kepada manusia dan lingkup kehidupannya, sosial, ekonomi, politik, budaya dan seterusnya.
Yewanggoe juga memberikan pandangannya tentang apa yang dimaksud pendidikan Kristen. Walaupun Ia sendiri melihat bahwa konsep pendidikan Kristen merupakan konsep yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap mencoba mendefinisikan apa itu pendidikan Kristen.
Menurut Yewanggoe (2005), pendidikan kristiani adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh gereja, yang di dalamnya prinsip-prinsip kristiani diterapkan. Prinsip-prinsip kristiani di sini mengacu pada keyakinan gereja tentang apa yang harus dilakukannya dalam penyelenggaraan pendidikan kristen itu sendiri. Karena konsepsi pendidikan Kristen dan prinsip-prinsip penyelenggaraannya pun bersifat dinamis, maka pendidikan Kristen dari praktek pendidikan Kristen hendaknya tanggap terhadap dan mampu menjadi teladan dalam melakukan trasformasi sosial.
Sementara itu, Dekker mengemukakan secara lebih jauh tentang pendidikan kristiani yang membebaskan. Menurut Dekker (dalam Duka dkk, 2000), pendidikan Kristen ialah pendidikan yang bersumber sepenuhnya dari Iman dan pengharapan Kristen. Dengan kata lain, iman dan pengharapan Kristen adalah rahim, dari dalam mana pendidikan Kristen dikandungkan dan dilahirkan.
Kurang lebih terdapat 7 (tujuh) implikasi teologis yang dapat ditarik dari definisi yang dikemukakan Dekker. Pertama, pelayanan pendidikan dari perspektif iman Kristen adalah suatu amanat ilahi, yang bersifat imperativ atau perintah. Allah sendiri yang mengundangkannya. Karena itu, untuk menjadi manusia dalam arti yang sebenar-benarnya, wajib dididik dan di ajar. Kedua, pelayanan pendidikan kristiani adalah suatu anugerah demi kemerdekaan dan pemulihan kembali harkat dan martabat manusia sebagai citra Allah (imago dei). Dan, pulih kembalinya keutuhan sebagai ciptaan, agar semuanya dapat menikmati syalom atau damai sejahterah. Ketiga, anugerah atau pemberian cuma-cuma dari Allah ini dikaruniakan melalui dan di dalam Yesus Kristus. Lewat Yesus Kristus Allah menyertai umat-Nya sebagai “rabuni” atau “guru” yang mengajarkan jalan kebenaran dan hikmat Allah.
Keempat, pendidikan dan perspektif kristiani merupakan wadah pembentukan manusia baru. Pendidikan yang benar dan sejati adalah pendidikan yang membawa pembaharuan manusia seutuhnya. Kelima, pendidikan Kristen merupakan perjuangan yang melawan struktur social yang menindas. Demikian juga ia merupakan perjuangan yang tidak henti untuk menciptakan struktur sosial, ekonomi, politik dan pemerataan kebudayaan yang memadai bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai masyarakat baru. Keenam, penyelanggaraan pendidikan Kristen ini merupakan karya pembebasan Allah yang sudah berlangsung, sedang berlangsung dan akan berlangsung sampai pada terciptanya tujuan-tujuannya. Ketujuh, pendidikan kristiani semestinya berlandaskan cinta kasih. Kekerasan, pemerasan, pemaksaan kehendak dan praktik-praktik dehumanisasi dalam pendidikan harus ditolak dan dibasmi tuntas. Sebab pendidikan kristiani adalah wadah sakramental dari, oleh dan untuk cinta kasih.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka dalam konteks pengembangan model dan pelaksanaan pembelajaran, beberapa implikasi dapat ditarik, sebagai berikut: Pertama, misi pembebasan Allah kepada manusia bersifat dinamis, karena misi ini menempatkan manusia dan dunianya sebagai objek pembebasan Allah. Demikian pula, makna pembelajaran merupakan sesuatu yang dinamis. Karena itu, dinamika ini hendaklah dijadikan oleh gereja, sekolah Kristen dan guru untuk merefleksikan kembali tujuan dan strategi implementasi misi pembebasan.
Dalam konteks pembelajaran, tujuan dan strategi mengacu pada apa dan bagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang membebaskan menjadi perhatian dan prioritas dalam implementasi misi pembebasan Allah. Artinya, terdapat hal-hal yang harus dirubah dan dikembangkan apabila tujuan dan strategi pembelajaran dalam pendidikan Kristen masih menunjukan ciri dehumanis. Tentu saja, pemikiran ini merujuk pada diperlukannya redefinisi hubungan guru dengan siswa, makna proses pembelajaran dan isi dari pembelajaran itu sendiri. Konkretisasi pemikiran ini melahirkan implikasi berikut.
Kedua, gereja, sekolah kristen dan guru atau pengajar diharuskan untuk mengembangkan suatu model operasional yang dapat digunakan dalam pembelajaran, sehingga tujuan pembebasan yang menjadi visi dari misi Allah memperoleh wujud konkrit dan teknis. Dari model inilah pendidikan Kristen menonjolkan ciri khasnya sebagai media Allah untuk berkarya langsung melalui pembelajaran dengan siswa selaku sasaran kasih dan pembebasan dari Allah.
Berdasakan kedua implikasi di atas, maka dipandang signifikan dan urgen bagi gereja, sekolah dan guru untuk mengupayakan adanya suatu model pembelajaran kritis yang membebaskan, sehingga proses pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu proses yang mengembangkan daya kritis dan kreativitas siswa, dimana mereka dimampukan untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang bebas dalam atmosfir pembebasan yang Allah kerjakan dalam dan melalui Yesus Kristus.
Pendidikan yang Membebaskan
Telah diuraikan sebelumnya tentang pendidikan Kristen dan pendidikan Kristen yang membebaskan. Pada bagian ini akan di uraikan konsep dan model pendidikan yang membebaskan dari salah satu filsuf pendidikan kritis yang membebaskan yang dikemukakan oleh Paulo Freire.
Beberapa pertimbangan untuk mengetengahkan pandangan Freire di sini, sebagai berikut:
Pertama, terdapat kemiripan konteks sosial masyarakat. Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah” (parton client relationship) (Rohman, 2009). Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu (Manggeng, 2005).
Konteks masyarakat di NTT memang tidak lagi sepenuhnya berada dalam dominasi feodal. Oleh karena penghancuran feodal telah terjadi cukup lama pada era kolonialisasi. Akan tetapi, kolonialisasi ini menghadirkan kesenjangan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tajam (Parera, 2007). Ketimpangan ini semakin masif pada masa rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto yang mempraktekkan diskriminasi pembangunan. Secara objektif, pembangunan berlangsung secara lambat di wilayah ini. tentunya hal ini berdampak pada kualitas pembangunan sumber daya manusianya (Yamin, 2009).
Dalam konteks demokrasi Indonesia, praktek liberalisme menjadi sangat dominan di bangsa ini. ketimpangan social, ekonomi dan politik semakin terasa. Hal ini menyebabkan krisis multi sektor yang berdampak pada kemerosotan kesejahteraan (Danim, 2003). Dampak dari penerapan liberalisasi dan neoliberalisasi di Indonesia, seperti nampak jelas melalui praktek privatisasi asset public, deindustrialisasi nasional, pembengkakan hutang luar negeri dan pencabutan subsidi, termasuk subsidi pendidikan, mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengakses kebutuhan dasar. Termasuk di sini kebutuhan pendidikan (Mutrofin, 2009). Dalam penyelenggaraan pendidikan, masyarakat dilihat sebagai objek ekonomis untuk meningkatkan produktifitas (Tilaar, 2009).
Kedua, kemiripan dari aspek kesadaran. Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah (Manggeng, 2005). Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas . Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Menurut Freire budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan membisu (Freire, 2000).
Hegemoni kulktur ini nampak jelas dalam penyelenggaraan bangsa Indonesia. Dalam aspek politik pendidikan, penerapan pendidikan tidak lebih dari sarana ideologisasi rezim yang menindas. Oligarki politik melahirkan ketidakberdayaan masyarakat dalam menyikapi penindasan. Berbagai kebijakan tidak diarahkan untuk mengubah struktur sosial yang timpang tetapi justru dilakukan untuk memapankan status quo. Model pemerataan pendidikan hanya sebatas jargon politik yang tidak dapat dibuktikan dalam arena penyelenggaraan pendidikan dari Sabang sampai Merauke (Yamin, 2009).
Dalam kondisi yang persis inilah, relevan untuk menemukan model pendekatan pendidikan yang tidak menerapkan pendidikan “gaya bank”. Karena itulah, Freire menawarkan pendidikan “hadap masalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat yang tertindas.
Hakekat Pendidikan yang Membebaskan
Hakekat utama yang sedang diperjuangkan Paulo Freira dalam pendidikan membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisasi atau proses memanusiakan manusia (Yamin, 2009). Kunci pokoknya ialah “konsientisasi” atau pembangkitan kesadaran kritis. Dalam pandangan Freira, pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia, setelah mereka mendapatkan penindasan, hegemoni mapun kepentingan politis tertentu yang menyebabkan masyarakat terasing dari realitas lingkungan tempat tinggal dan berinteraksi (Yamin, 2009).
Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh Manggeng (2005) pendidikan kritis merupakan pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Sebab, manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Jadi, realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial (Fakih, 2005, Rohman, 2009). Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment).
Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistim sosial baru dan lebih adil (Rohman, 2009). Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi soaial. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil (Fakih, 2005).
Gagasan-gagasan yang dikemukakan di atas, tentunya didasarkan pada suatu analisis bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Karena itu, pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru berfungsi melanggengkan proses dehumanisasi.
Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Fakih (2005) mengemukakan 3 (tiga) tingkatan kesadaran dalam pandangan Freire, yakni: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Sedangkan, Manggeng (2005) mengemukakan bahwa Freire menggolongkan 4 (empat) kesadaran, yakni intransitif, kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis, kesadaran naïf dan kesadaran kritis transitif.
Namun, perbedaan bukan merupakan suatu penggolongan yang sifatnya bertolak belakang. Sebab, pada kondisi lain, kesadaran manusia pada tahapan instrantif dan semi instrantif di sebut sekaligus sebagai kesadaran naïf.
Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya (Fakih, 2005). Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean di sebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Pelajar secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini masalah etika, kreativitas, dan kemampuan manusia dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Dalam kesadaran ini, pendidikan bersifat apolitik dan excellent (Rohman, 2009). Dalam kesadaran naïf, dapat dikatakan bahwa kesadaran seseorang sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog (Manggeng, 2005).
Dalam kondisi kesadaran yang demikian, masyarakat tidak mampu melihat kaitan antara dominasi politk dengan kondisi kemiskinan masyarakat tadi. Kemiskinan hanya dilihat sebagai ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu kemampuan membangun diri sendiri adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan systim dan struktur, bahkan sistim dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar pelajar bisa masuk beradaptasi dengan sistim yang sudah benar tersebut.
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai sumber masalah (Fakih, 2005). Pendekatan struktural menghindari analisis yang sekedar melihat kelemahan manusia, tetapi lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Jadi, paradigma kritis dalam pendidikan, melatih pelajar untuk mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Mencermati penggolongan kesadaran sebagaimana dilakukan Freire, jelas bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Akan tetapi, pencapaian tingkatan kesadaran tertinggi itu, harus melalui suatu tahapan atau proses belajar yang bergerak dari kesadaran manusia pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan kritis merupakan kelanjutan dari gerakan pembebasan. Sebab, dalam perspektif pendidikan kritis, “pembebasan” pada dasarnya dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan bahkan boleh dikatakan bahwa pada dasarnya hakekat seni adalah pembebasan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki konteks makna dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya. Sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidakadilan di zamannya (Fakih, 2005).
Konsep pendidikan kritis Freire, memiliki kaitan erat dengan perjuangan gereja di Amerika Latin. Salah satu teolog Kristen yang memiliki pandangan kritis ialah Gustavo Gutierez. Sebagai seorang “Teologi Pembebasan” Dunia Selatan-Guatemala, Guiterez menekankan ajaran teologinya bagi pembebasan spiritual dan sosio-kultural golongan yang dimarjinalkan oleh ‘pembangunan” (Fakih, 2005). Oleh karena itu bagi Gutierez konsep pembebasan diberi pengertian lebih sebagai ekspresi dari aspirasi rakyat miskin kaum tertindas, yang dikaitkan sebagai akibat dari proses relasi konflik ekonomi, sosial dan politik yang tidak adil dengan negara-negara kaya dan kelas elit di di negara-negara pinggiran.
Jelas pandangan Guiterz berkaitan dengan teologi pembebasan, memiliki dan berakar pada refleksi dan analisis sosial terhadap formasi sosial yang dianggap memiskinkan rakyat jelata di dunia Selatan. Menurut, Fakih (2005) konsep teologi pembebasan tidak bisa dipisahkan dari kerangka dan konteks pemikiran “teori ketergantungan” (dependecy theories) yang berkembang subur pada pada tahun ’70-an di Amerika latin dan Amerika Selatan. Dan melalui hasil refleksi teologi secara kritis ini, praktek pembebasan bertumbuh menjadi bentuk gerakan agama, termasuk gerakan dalam konteks sosial politik. Di Amerika Latin misalnya, gerakan ini pertama kali muncul, justsru praktek muncul dalam bentuk gerakan sosial (social movement) seperti Basic Christian Communities yang merupakan gerakan dengan alasan spritual keagamaan maupun alasan sosial politik yakni mempertahankan diri dari penggusuran dan peminggiran.
Oleh: Abdy Busthan
Post a Comment