
Tentunya, hal ini tidak dapat berlaku dalam Negara-Pancasila. Sebab posisi antara Negara-Agama dengan Negara-Pancasila, tetap terkungkung dalam wilayah hitam-putih (baca: berseberangan).
Perkenankan saya membuka lembaran awal coretan ini dengan mengajak kita bersama-sama sekedar kembali memahami lebih dalam lagi kalimat sederhana ini: “Agama adalah bagian dalam kehidupan berbangsa, dan bukan bangsa yang menjadi bagian dari kehidupan beragama”. Kalimat seperti ini semestinya di cerna secara hati-hati dan bijaksana, sehingga kita tidak dengan serta-mertanya menegarakan agama, dan mengagamakan negara.
Dalam bentuk pemerintahan demokrasi, ajaran agama bukanlah “pandangan hidup” dari negara, tetapi ia hanya sebatas penuntun hidup golongan tertentu dalam satu negara. Penuntun hidup suatu golongan tertentu ini tidak bisa di klaim sebagai penuntun hidup bersama—semua golongan wajib dan harus mengikutinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, seperti apakah relasi negara dengan agama itu? Tepat apa yang pernah diungkapkan Teolog Protestan, Yewangoe (2011) melalui karyanya berjudul “Tidak Ada Negara Agama”, bahwa tidak mudah untuk mengambil kesimpulan bagaimana relasi Negara-Agama itu harus diletakkan secara pas. Sebab selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan muskil di dalamnya. Ini benar!
Dalam ideologi negara Pancasila, relasi negara dengan agama juga kerapkali terperangkap ke dalam seperangkat hukum agama yang menjelma menjadi hukum positif. Di negara Indonesia, relasi antara negara dan agama semakin diperparah dengan terjerumusnya negara jauh ke dalam lubang-lubang inkonstitusional yang sepertinya tak berujung.
Beberapa diantaranya adalah larangan untuk pemimpin daerah yang beragama Non-Muslim, serta munculnya beberapa Perda berlabel Syariat yang kemudian masuk dan mengintervensi warga negara melalui UU Otonomi Daerah.
Perlu dipahami bahwa, di dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan negara Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.
Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1, yang secara sah dan meyakinkan menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28 D Ayat 3 yang juga menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Demikian pun halnya dengan kebebasan beragama. Meskipun secara Konstitusi (UUD 45), kebebasan beragama sudah sangat jelas ditegaskan dalam Pasal 29—negara menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama—namun pada level praksis, negara Indonesia sepertinya masih terkungkung dalam kehidupan beragama yang masih sebatas prosedural semata, dan bukan subtansial.
William James (1842-1910), seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah satu pendiri mazhab pragmatisme, menyatakan bahwa, agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling “hangat” dalam kepribadian manusia. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan berkarya. Demi “set” keyakinan itu, kita melibatkan diri dengan segenap jiwa raga kita. Karenanya, James menyebut “set” keyakinan ini dalam kalimat: “the habitual centre of his personal energy".
Dalam melibatkan diri secara total, meminjam Vergote (1967) dalam karyanya “Godsdienstpsychologie”, bahwa agama itu bersifat komuniter. Agama harus dapat mempersatukan manusia dalam satu roh persaudaraan dengan orang lain. Sebab orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik, jika ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu, kepekaan seseorang terhadap “kepentingan komunitas” merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.
“Agama bukan Negara! Negara bukan Agama!”, demikian judul artikel ini, yang sengaja saya angkat demi suatu transformasi kemajemukan yang lebih beradab dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia yang sosiodemokrasi.
Ini penting! Karena mengingat kedudukan amandemen UUD 1945 yang akhir-akhir ini seakan mulai terusik oleh serpihan ciutan “Piagam Jakarta” yang kerapkali dikumandangkan segelintir orang dalam kelompok radikal yang mencoba membentuk sebuah “quasi-agama” (baca: negara agama) di Republik tercinta ini.
Akhirulkalam, kiranya melalui goresan ini kita akan semakin menjauhkan dari fenomena makhluk beragama yang getol memuaskan hasrat kekanak-kanakkan melalui dan mengatasnamakan agama.
Salam Wassalam. Hormat di Bri...
Kota Kupang, awal Februari, 2017
Post a Comment