Apakah agamamu? Inilah pertanyaan pertama dan terutama yang harus dijawab jika Anda mau menjadi pemimpin di negara yang syarat dengan syariat. Ya, negara yang syarat hukum syariat, adalah Negara-Agama, di mana agama dijadikan status resmi sebagai identitas dan falsafah utama dalam bernegara.
Tentunya, hal ini tidak dapat berlaku dalam Negara-Pancasila. Sebab posisi antara Negara-Agama dengan Negara-Pancasila, tetap terkungkung dalam wilayah hitam-putih (baca: berseberangan).
Kota Kupang, awal Februari, 2017
Tentunya, hal ini tidak dapat berlaku dalam Negara-Pancasila. Sebab posisi antara Negara-Agama dengan Negara-Pancasila, tetap terkungkung dalam wilayah hitam-putih (baca: berseberangan).
Namun, dalam alam realitas berbangsa dan bernegara, rasanya sulit menghindari kekacauan akibat menempatkan hukum agama dan hukum negara secara simultan. Begitulah yang kini terjadi di negara tercinta kita, Indonesia.
Perkenankan saya membuka lembaran awal coretan ini dengan mengajak kita bersama-sama sekedar kembali memahami lebih dalam lagi kalimat sederhana ini: “Agama adalah bagian dalam kehidupan berbangsa, dan bukan bangsa yang menjadi bagian dari kehidupan beragama”. Kalimat seperti ini semestinya di cerna secara hati-hati dan bijaksana, sehingga kita tidak dengan serta-mertanya menegarakan agama, dan mengagamakan negara.
Dalam bentuk pemerintahan demokrasi, ajaran agama bukanlah “pandangan hidup” dari negara, tetapi ia hanya sebatas penuntun hidup golongan tertentu dalam satu negara. Penuntun hidup suatu golongan tertentu ini tidak bisa di klaim sebagai penuntun hidup bersama—semua golongan wajib dan harus mengikutinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, seperti apakah relasi negara dengan agama itu? Tepat apa yang pernah diungkapkan Teolog Protestan, Yewangoe (2011) melalui karyanya berjudul “Tidak Ada Negara Agama”, bahwa tidak mudah untuk mengambil kesimpulan bagaimana relasi Negara-Agama itu harus diletakkan secara pas. Sebab selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan muskil di dalamnya. Ini benar!
Perkenankan saya membuka lembaran awal coretan ini dengan mengajak kita bersama-sama sekedar kembali memahami lebih dalam lagi kalimat sederhana ini: “Agama adalah bagian dalam kehidupan berbangsa, dan bukan bangsa yang menjadi bagian dari kehidupan beragama”. Kalimat seperti ini semestinya di cerna secara hati-hati dan bijaksana, sehingga kita tidak dengan serta-mertanya menegarakan agama, dan mengagamakan negara.
Dalam bentuk pemerintahan demokrasi, ajaran agama bukanlah “pandangan hidup” dari negara, tetapi ia hanya sebatas penuntun hidup golongan tertentu dalam satu negara. Penuntun hidup suatu golongan tertentu ini tidak bisa di klaim sebagai penuntun hidup bersama—semua golongan wajib dan harus mengikutinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, seperti apakah relasi negara dengan agama itu? Tepat apa yang pernah diungkapkan Teolog Protestan, Yewangoe (2011) melalui karyanya berjudul “Tidak Ada Negara Agama”, bahwa tidak mudah untuk mengambil kesimpulan bagaimana relasi Negara-Agama itu harus diletakkan secara pas. Sebab selalu tersisa pertanyaan-pertanyaan muskil di dalamnya. Ini benar!
Sebut saja kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang membatasi laju imigran dan pengungsi dari tujuh negara Islam ke AS di awal tahun 2017 ini. Mungkin dalil Trump di balik kebijakan ini semata-mata untuk membatasi masuknya terorisme ke Amerika bisa diterima. Namun, dalam konteks bukan Negara-Agama, maka jelas kebijakan seperti begini kontraproduktif dan diskriminatif, serta sangat berpotensi melanggar konstitusi. Karena memilah-milah suatu kebijakan berdasarkan pada perbedaan agama.
Selain membatasi laju imigran dari tujuh negara Muslim, diketahui pula bahwa Trump juga berniat memberi prioritas bagi pengungsi Kristen dari Suriah. Jika negara harus memberikan pengecualian pada umat agama tertentu, maka hal ini adalah pelanggaran konstitusi yang nyaris sempurna.
Dalam ideologi negara Pancasila, relasi negara dengan agama juga kerapkali terperangkap ke dalam seperangkat hukum agama yang menjelma menjadi hukum positif. Di negara Indonesia, relasi antara negara dan agama semakin diperparah dengan terjerumusnya negara jauh ke dalam lubang-lubang inkonstitusional yang sepertinya tak berujung.
Beberapa diantaranya adalah larangan untuk pemimpin daerah yang beragama Non-Muslim, serta munculnya beberapa Perda berlabel Syariat yang kemudian masuk dan mengintervensi warga negara melalui UU Otonomi Daerah.
Perlu dipahami bahwa, di dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan negara Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.
Dalam ideologi negara Pancasila, relasi negara dengan agama juga kerapkali terperangkap ke dalam seperangkat hukum agama yang menjelma menjadi hukum positif. Di negara Indonesia, relasi antara negara dan agama semakin diperparah dengan terjerumusnya negara jauh ke dalam lubang-lubang inkonstitusional yang sepertinya tak berujung.
Beberapa diantaranya adalah larangan untuk pemimpin daerah yang beragama Non-Muslim, serta munculnya beberapa Perda berlabel Syariat yang kemudian masuk dan mengintervensi warga negara melalui UU Otonomi Daerah.
Perlu dipahami bahwa, di dalam UUD 1945 tidak ada pasal dan ayat yang menyebutkan keislaman seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan negara Malaysia, Pakistan, Mesir, Arab Saudi dan Suriah yang mencantumkan Islam dalam Konstitusi sebagai agama Negara, sehingga seluruh peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada ajaran Islam.
Sekali lagi, negara Indonesia bukanlah merupakan negara Islam. Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberadaan agama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha, selain agama Islam. Di mata negara, kedudukan semua pemeluk agama sama dan mempunyai hak yang setara, termasuk hak untuk memilih dan hak dipilih.
Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1, yang secara sah dan meyakinkan menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28 D Ayat 3 yang juga menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Demikian pun halnya dengan kebebasan beragama. Meskipun secara Konstitusi (UUD 45), kebebasan beragama sudah sangat jelas ditegaskan dalam Pasal 29—negara menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama—namun pada level praksis, negara Indonesia sepertinya masih terkungkung dalam kehidupan beragama yang masih sebatas prosedural semata, dan bukan subtansial.
Hal ini ditegaskan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1, yang secara sah dan meyakinkan menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…” dan Pasal 28 D Ayat 3 yang juga menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Demikian pun halnya dengan kebebasan beragama. Meskipun secara Konstitusi (UUD 45), kebebasan beragama sudah sangat jelas ditegaskan dalam Pasal 29—negara menjamin kebebasan warganya untuk memeluk agama—namun pada level praksis, negara Indonesia sepertinya masih terkungkung dalam kehidupan beragama yang masih sebatas prosedural semata, dan bukan subtansial.
Berbagai konflik horisontal yang pernah terjadi di Maluku dan Poso, juga kasus pemboman gereja-gereja, hingga berujung pada tragedi pemberhentian ibadah Natal di daerah Sabuga-Bandung pada tanggal 6 Desember 2016, sesungguhnya menegaskan bahwa nilai-nilai luhur kehidupan beragama di medan merdeka ini tidak dikembangkan dalam sikap dan pengalaman hidup yang toleran terhadap kemajemukan (plural).
William James (1842-1910), seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah satu pendiri mazhab pragmatisme, menyatakan bahwa, agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling “hangat” dalam kepribadian manusia. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan berkarya. Demi “set” keyakinan itu, kita melibatkan diri dengan segenap jiwa raga kita. Karenanya, James menyebut “set” keyakinan ini dalam kalimat: “the habitual centre of his personal energy".
William James (1842-1910), seorang filsuf Amerika Serikat yang terkenal sebagai salah satu pendiri mazhab pragmatisme, menyatakan bahwa, agama adalah keyakinan tertentu yang merupakan tempat paling “hangat” dalam kepribadian manusia. Tempat itulah pusat kepribadian kita, sebab dari padanya kita hidup dan berkarya. Demi “set” keyakinan itu, kita melibatkan diri dengan segenap jiwa raga kita. Karenanya, James menyebut “set” keyakinan ini dalam kalimat: “the habitual centre of his personal energy".
Tentunya pada titik ini agama sebagai tempat terbentuknya kepribadian dalam keyakinan umat yang melibatkan dirinya secara total (segenap jiwa raga). Ini artinya bahwa, agama adalah urusan masing-masing individu dengan apa yang diyakininya secara total. Tidak ada campur tangan “yang lain” di luar diri manusia, yang mampu melibatkan diri secara total, selain dirinya sendiri. Setiap individu berhak atas apa yang diyakininya sebagai kebaikan dan kebenaran, sehingga melalui apapun yang diyakininya itu, maka ia mampu untuk hidup dan berkarya bagi kehidupannya dan orang lain .
Dalam melibatkan diri secara total, meminjam Vergote (1967) dalam karyanya “Godsdienstpsychologie”, bahwa agama itu bersifat komuniter. Agama harus dapat mempersatukan manusia dalam satu roh persaudaraan dengan orang lain. Sebab orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik, jika ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu, kepekaan seseorang terhadap “kepentingan komunitas” merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.
Dalam melibatkan diri secara total, meminjam Vergote (1967) dalam karyanya “Godsdienstpsychologie”, bahwa agama itu bersifat komuniter. Agama harus dapat mempersatukan manusia dalam satu roh persaudaraan dengan orang lain. Sebab orang sebetulnya baru dapat menghadap Allah secara otentik, jika ia sanggup melibatkan orang lain pula dalam kehidupan pribadinya. Tidak mungkin menghadap Tuhan sendirian. Oleh karena itu, kepekaan seseorang terhadap “kepentingan komunitas” merupakan tolak ukur yang baik untuk menilai sikap beragama seseorang.
Jadi, agama secara individualistis adalah keterlibatan total (mental) seseorang terhadap apa yang diyakininya tanpa campur tangan (baca: intervensi) yang lain, demi untuk melibatkan dirinya secara total ke dalam kehidupan bersama yang jauh dari kekerasan, dan menjunjung tinggi toleransi.
“Agama bukan Negara! Negara bukan Agama!”, demikian judul artikel ini, yang sengaja saya angkat demi suatu transformasi kemajemukan yang lebih beradab dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia yang sosiodemokrasi.
Ini penting! Karena mengingat kedudukan amandemen UUD 1945 yang akhir-akhir ini seakan mulai terusik oleh serpihan ciutan “Piagam Jakarta” yang kerapkali dikumandangkan segelintir orang dalam kelompok radikal yang mencoba membentuk sebuah “quasi-agama” (baca: negara agama) di Republik tercinta ini.
“Agama bukan Negara! Negara bukan Agama!”, demikian judul artikel ini, yang sengaja saya angkat demi suatu transformasi kemajemukan yang lebih beradab dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia yang sosiodemokrasi.
Ini penting! Karena mengingat kedudukan amandemen UUD 1945 yang akhir-akhir ini seakan mulai terusik oleh serpihan ciutan “Piagam Jakarta” yang kerapkali dikumandangkan segelintir orang dalam kelompok radikal yang mencoba membentuk sebuah “quasi-agama” (baca: negara agama) di Republik tercinta ini.
Sekali lagi, mari kita katakan bersama-sama bahwa: “Agama bukan negara! Negara bukan agama!”.
Akhirulkalam, kiranya melalui goresan ini kita akan semakin menjauhkan dari fenomena makhluk beragama yang getol memuaskan hasrat kekanak-kanakkan melalui dan mengatasnamakan agama.
Akhirulkalam, kiranya melalui goresan ini kita akan semakin menjauhkan dari fenomena makhluk beragama yang getol memuaskan hasrat kekanak-kanakkan melalui dan mengatasnamakan agama.
Sehingga apa yang pernah diragukan sang psikoanalisis, Sigmund Freud, tentang sebuah agama ilusi dengan seperangkat gangguan syarafnya, tidak dengan serta-mertanya terwujud dalam kehidupan bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.
Salam Wassalam. Hormat di Bri...
Salam Wassalam. Hormat di Bri...
****
Dalam derasnya hujan di malam hari, Kota Kupang, awal Februari, 2017
Oleh: Abdy Busthan
Tulisan ini di ambil dari Buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!
Penulis: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
ISBN: 978-602-6487-05-6
Post a Comment