Darah tak perlu di bayar dengan darah, ketika langit menjadi liar. Itu akan membuat prosais yang berkepanjangan, seperti prominensia hukum tanah yang tak berawalan.
“Dari tanah, kembali ke tanah”, itulah bentuk kesempurnaan sebuah primbon dari sang perfeksionis, yang menuangkan fakta ke dalam sebuah prosa tentang secercah halusinasi Timotius di ujung bumi Lorosae, tepatnya pada hari Sabat.
Progeni lelaki itu bukanlah seorang Listra anak kesayangan Sang Rasul. Tapi dialah hulubalang setengah baya, sang penakhluk kasta teruntum di ujung primordial pribumi Lorosae. Dialah Timo, yang menikmati hidup dengan membabarkan aksi sejuta mimpi, dalam selaput yang membungkus keterbatasan akan beradaannya
Timo memulai kisah sembilu dengan tiga kata yang melukiskan kesenduan itu, terluka, tersisih dan terlupakan, dari sisi orang-orang yang disayangi.
Itulah konsekuensi kemelut peradaban, dalam dasawarsa nalar, ketika mata tidak lagi menjadi mata, dan hati tidak lagi bermuara pada samudera kasih.
Berawal dari serangkaian aksi dalam prolog yang menggambarkan kenangan enam belas tahun yang lalu, ketika sang bunda melahirkan seorang bocah, dengan cinta dan harapan yang akan membawa sebuah impian tentang langit dalam langit, bahwasanya “di atas langit masih ada langit yaitu langit ketujuh”. Namun, bukan salah bunda mengandung, ketika harapan hanya meninggalkan secarik noktah liar dalam dekapan jeruji besi, di kala seduh sedan menghempaskannya.
Ya, Timo mencemari air susu dengan air tubah. Lalu khilaf dalam warna-warni kehidupan jalanan, selanjutnya menghujamkan perwatakan Timo dalam lingkaran yang tak berwatak!
Vitrah seorang pejantan memang bukanlah ensiklopedi yang latah dengan eksaminator yang eror. Karena sang pejantan akan mendeklarasikan sebuah pertarungan sebagai tempat yang selalu menyisakan dua kata sakral yaitu “Mengalahkan” atau “Terkalahkan”
Seumpama jerami dalam sekam, sabat itu Timo mengaung garang, bagaikan pasukan Magala yang bertombak, ditengah pertempuran mempertahankan sebuah kerajaan. Dengan lidah-lidah api bak suasana maha karya dendam kesumat, Timo pun terlahir sebagai seorang pembunuh!
Trenyuh dalam kiat di hari sabat, mengumandangkan lonceng maut ke seluruh penjuru Lorosae, bahwa Timo sang malaikat pencabut nyawa, berdiam dalam mezbah problematik yang bertepi pada monolotik sebuah kekerasan.
Musim pun berganti, ketika pertemuan tak terelakkan. Dalam hening Sabat itu, Timo berucap dengan lirih, “Adakah pengampunan yang membebaskan? Lalu apa arti keselamatan? Dua pertanyaan yang membawa Iman kita pada pengorbanan Kristus di kayu salib.
Sejenak kami terdiam, lalu terdengarlah suara yang begemuruh dalam hati. Semakin lama semakin jelas, hingga Sabda itu berkata dengan lantang, bahwasanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku didalam Firdaus “.
Demikianlah “pengampunan kekal”, yang menjawab kedua pertanyaan Timotius dalam primbon di ujung bumi Lorosae.
Oleh: Abdy Busthan
Post a Comment