Halloween party ideas 2015



Namanya adalah Jean Piaget. Dia adalah ilmuan berkebangsaan Swiss, yang semula hanya sarjana biologi. Namun dengan konsep "skemata" dan teorinya tentang perkembangan kognitif, serta pandangannya tentang epistemologis yang secara simultan disebutkan sebagai "epistemologi genetik", akhirnya Piaget mengukuhkan dirinya sebagai salah satu ahli epistemologi yang sangat berpengaruh di dunia hingga saat ini. 

Dengan pencapaiannya tersebut, selanjutnya mengantarkan Piaget untuk di kenal khalayak sebagai seorang filsuf dan ahli psikolog terbesar sepanjang masa yang ditandai pula dengan berbagai macam penelitian dalam karyanya di bidang psikologi perkembangan.

Perlu digarisbawahi bahwa alam sejarah perkembangan teori belajar kognitif, tidak satupun kritik yang dapat ditujukan pada rumusan “skemata” yang dibangun oleh Jean Piaget.

Menurut 
Busthan Abdy (2016:276), Piaget membangun rumusan skematanya dengan mengabaikan dunia eksternal dan hanya berbicara tentang ruang hidup (kontekstualisasi kehidupan). Piaget tidak menyediakan landasan bagi teori pembelajaran yang sebenarnya. Dalam hal ini, Piaget sadar akan dunia eksternal, sehingga konsep asimilasi (penyesuaian sifat) yang digagasnya lebih menekankan pada konsep bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh caranya mengintervensi dunia.

Sedangkan konsep akomodasi (tempat penyediaan kebutuhan) yang mengiringinya lebih menekankan bahwa dunia eksternal senantiasa berada dalam kedudukannya untuk memodifikasi cara pandang seseorang—agar skemata seseorang tetap lurus, maka bisa dikatakan demikian adanya. 

Berdasarkan hal tersebut, Piaget kemudian mengkombinasikan teori kognitif yang kompleks dan fleksibel dengan pendiriannya bahwa pengaruh “dunia nyata” tidak bisa di abaikan begitu saja 

a. Struktur (Skemata)
Pengertian yang berhubungan dengan struktur di sini yaitu “operasi”. Menurut Piaget, terdapat hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental serta perkembangan berpikir logis seorang anak. 

Tindakan (action) menekankan perkembangan operasi, sehingga operasi selanjutnya menuju pada perkembangan struktur. 

Busthan Abdy (2016:271-272) menjelaskan bahwa, beberapa ciri dari operasi-operasi Piaget adalah sebagai berikut:

Pertama, operasi merupakan tindakan-tindakan yang terinternalisasi, yaitu antara tindakan mental maupun tindakan fisik—tidak terdapat garis pemisah. Misalnya, bila seorang anak mengumpulkan semua kelereng kuning dan merah, maka tindakannya sekaligus merupakan kedua tindakan, yaitu mental maupun fisik. Secara fisik, anak memindahkan kelereng-kelereng itu, tetapi tindakannya juga dibimbing oleh hubungan “sama” dan “berbeda” yang diciptakan dalam pikirannya.

Kedua,operasi-operasi itu reversibel. Misalnya, menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan: 2 dapat ditambahkan pada 1 untuk memperoleh 3; atau 1 dapat dikurangi 3 untuk memperoleh hasil 2.


Ketiga,tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Karena suatu operasi akan selalu berhubungan dengan struktur—sekumpulan operasi. Misalnya saja, operasi penambahan-pengurangan yang berhubungan dengan operasi klasifikasi, pengurutan dan konservasi bilangan.

Harus dipahami bahwa bahan operasi-operasi tersebut di atas, saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Operasi merupakan tindakan-tindakan mental yang terinternalisasi, reversibel, tetap dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi lainnya. 

Sehingga dapat dipahami, bahwa struktur dan juga skemata adalah organisasi “mental” tingkat tinggi—berada satu tingkat lebih tinggi dari situasi dan kondisi dimana seorang individu sedang berinteraksi dengan lingkungannya. 

Struktur yang terbentuk akan lebih memudahkan setiap individu yang terlibat, yaitu dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dari linkungannya.

Intinya bahwa diperolehnya suatu struktur atau skemata, berarti telah terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual seorang anak. Bagi Piaget, intelegensi adalah jumlah struktur yang tersedia, yang dapat pula digunakan seseorang pada saat-saat tertentu dalam perkembangannya (Dembo, 1977)

b. Substansi Skemata Piaget
Sebelumnya dapat dijeslakan bahwa “skema” (schema, jamaknya: skemata, schemata) yang digunakan Piaget di sini adalah sebagai “variabel perantara”. Sifatnya lebih umum, dan pengertiannya adalah cara mempersepsi, memahami dan berpikir tentang dunia. 

Atau bisa disebutkan dengan kerangka atau struktur pengorganisir aktivitas mental. Terkait dengan cara berlangsungnya peristiwa pada umumnya, maka skemata dapat mencakup beberapa jenis antisipasi, yang kemudian pembentukan dan perubahan skemata ini menjadi hakikat perkembangan kognitif selanjutnya. 

Sehingga seorang anak bisa memiliki skemata yang relevan dengan bermacam-macam jenis topik, dan jumlahnya akan semakin banyak ketika anak mendekati usia dewasa (Hill Winferd, 2011).

Piaget memandang bahwa proses berpikir merupakan akibat dari adanya aktivitas gradual dari fungsi intelektual, yang berlangsung dari sesuatu yang konkrit menuju abstrak. 

Menurut Busthan Abdy (2016), Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi 4 (empat) tahapan skema yang dapat digunakan untuk memahami dunianya, yaitu:

1. Tahap Sensori-motor(sensory-motor stage); usia 0–2 thn 
Menurut Piaget—berdasarkan nama dari tahapan ini—maka skemata yang berkembang dalam tahapan ini adalah skemata yang melibatkan persepsi anak mengenai dunia dan koordinasi yang ia gunakan menghadapi dunia. 

Dalam periode ini, anak membentuk konsepsi-konsepsi paling dasar mengenai hakikat dunia material. Pembelajarannya, bahwa sebuah objek yang menghilang bisa muncul kembali, serta objek tertentu merupakan objek yang sama, meskipun terlihat lain sekali ketika dipandang. 

Dalam Pemahaman dasar bahwa seorang bayi lahir dengan membawa sejumlah refleks bawaan, serta dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensori-motor adalah periode pertama dari empat periode.

Inteligensi sensori-motor dipandang sebagai inteligensi praktis (practical intelligence) yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap lingkungan sebelum mampu berpikir mengenai apa yang sedang ia perbuat. Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi pondasi untuk menuju tipe inteligensi tertentu yang nantinya akan dimiliki anak. 

Sebab sebelum usia 18 bulan, anak belum mengenal object permanence. Dalam artian, benda apapun yang tidak ia lihat, tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar akan selalu dianggap tidak ada, meskipun sesungguhnya benda itu ada. Dan nantinya dalam rentang usia 18–24 bulan, barulah kemampuan object permanence anak muncul secara bertahap dan sistematis (Busthan Abdy, 2016)

Dijelaskan lanjut oleh Busthan Abdy (2016:277-278), tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial yang amat penting dalam enam sub-tahapan, yaitu sebagai berikut:

Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia 6 minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.

Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia 6 minggu sampai 4 bulan, yang terutama berhubungan dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.

Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia 4 sampai 9 bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.

Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia 9 sampai 12 bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen—meskipun kelihatannya berbeda jika di lihat dari sudut berbeda (permanensi objek).

Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia 12 sampai 18 bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

Sub-tahapan awal representasi simboliks, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

2. Tahap Praoperasional (preoparational thinking); usia 2–7 thn
Pada tahapan ini anak mulai memperlihatkan efek yang dihasilkan dari pembelajaran bahasa. Dalam hal ini seorang anak akan mampu merepresentasikan benda dan kejadian secara simbolis: ia bukan saja mampu berbuat sesuatu pada apa yang di lihatnya, tetapi juga berpikir tentang kejadian yang di lihat tersebut. 

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional cenderung mengikuti tahapan sensorimotor, dan muncul antara usia 2 sampai 7 tahun.
Dalam tahapan ini, anak cenderung mengembangkan keterampilan berbahasanya, dengan mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. 

Namun di sini anak masih menggunakan penalaran intuitif saja, dan bukan logis. Dimana pada permulaan tahapan ini, anak akan cenderung egosentris, yaitu mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lainnya. Mereka juga kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. 

Tetapi seiring dengan pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain akan semakin baik. Intisarinya, anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif ditahapan ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan. Tetapi Piaget menunjukkan bahwa, setelah akhir usia 2 tahun, maka jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis mulai muncul.

Pemikiran (pra)-operasi dalam teori Piaget adalah prosedur untuk “melakukan tindakan” secara “mental” terhadap objek apa saja yang dihadapi seorang anak. Prinsip dasar dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak cukup memadai. 

Dalam tahapan ini, anak memang belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata, namun terlepas dari itu, pemikiran anak di sini masih bersifat egosentris—anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Dimana seorang anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

Piaget membagi tahapan perkembangan bagian kedua ini, menjadi dua batasan—berdasarkan tingkatan umur masing-masing anak (Busthan Abdy, 2016), yaitu sebagai berikut:

Pemikiran Prakonseptual (anak usia sekitar 2-4 tahun). Di sini seorang anak akan membentuk konsep sederhana saja. Anak akan mengklasifikasikan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi cenderung melakukan banyak kesalahan, lantaran konsep mereka itu. Seperti ilustrasi berikut:
- Semua lelaki adalah “Ayah“
- Semua perempuan adalah “Ibu”
- Semua mainan adalah “milikku”

Tentu saja— dalam konteks ini—logika mereka tidak induktif atau deduktif, tetapi transduktif. Dimana anak akan lebih menghubungkan benda-benda yang baru dipelajarinya berdasarkan pengalamannya berinteraksi dengan benda-benda sebelumnya.


Dalam artian bahwa anak biasanya hanya memperhatikan salah satu ciri benda yang menurutnya paling menarik untuk membuat kesimpulan. 

Dalam menentukan keputusan seperti inilah yang disebut cara berfikir tranduktif. Contohnya, ketika seorang anak laki-laki sering menonton film Superman dengan baju biru dan memiliki sayap.

Maka ketika anak tersebut membeli baju, maka ia akan mencari dan memilih baju Superman tersebut dibandingkan baju-baju yang lainnya. Karena ia berpikir hanya baju Superman dengan sayapnya saja yang bisa menjadi jagoan dan dapat terbang tinggi. 

Jadi, implikasi logika transduktif di sini adalah: “Sapi adalah hewan besar dengan memiliki empat kaki; karenanya, maka hewan itu adalah sapi”.

Periode Pemikiran Intuitif (anak usia 4-7 tahun). Di sini seorang anak akan memecahkan problem secara intuitif (bersifat intuisi), dan bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika. Adapun ciri yang paling menonjol dari pemikiran anak dalam tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan conservation (konservasi). 

Dalam hal ini konservasi merupakan kemampuan untuk menyadari bahwa jumlah, panjang, substansi, atau luas, akan tetap sama, meski memungkinkan hal-hal seperti itu di representasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya saja, seorang anak ditunjukkan pada wadah atau tempat berisi air dalam volume tertentu, kemudian, isi dari salah satu tempat atau wadah itu dituangkan kedalam tempat lainnya, pada tahapan ini, anak yang semula melihat wadah pertama yang berisikan air, setelah melihat wadah kedua, akan cenderung mengatakan bahwa wadah kedua yang lebih tinggi bentuknya adalah wadah yang berisi lebih banyak air dibandingkan dengan wadah yang pertama tadi (walaupun sebenarnya jumlah volume airnya sama). 

Secara mental, pada tahapan ini anak tidak mampu untuk membalikkan operasi kognitif—dalam artian bahwa seorang anak tidak mampu secara mental untuk menuangkan air dari wadah yang tinggi ke wadah yang lebih rendah—sekaligus juga tidak dapat melihat bahwa jumlah cairan itu sebenarnya adalah sama.

Berdasarkan contoh di atas, Piaget menegaskan bahwa, konservasi merupakan kemampuan yang muncul sebagai hasil akumulasi pengalaman seorang anak dengan lingkungan, dan bukan kemampuan yang nantinya dapat di ajarkan sampai anak memiliki pengalaman awal. 

Jadi, dalam hal ini pendewasaan menghasilkan struktur otak dan sensoris yang dibutuhkan, tetapi dibutuhkan pengalaman untuk mengembangkannya. Namun dalam hal lainnya, pertanyaan tentang konservasi, apakah dapat diajarkan sebelum waktunya, masih belum terjawab oleh Piaget.

Tahap Operasional Konkrit (concrete operations); usia 7–11 thn
Pada tahapan ini terjadi peningkatan fleksibilitas yang melebihi tahapan sebelumnya, yaitu praoperasional. Jenis operasinya disini adalah mengklasifikasi, mengkombinasi dan membandingkan. 


Sehingga selanjutnya tahapan ini ditandai dengan adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berpikir), yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. 

Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun terdapat juga keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. 

Pada periode ini anak mulai mengembangkan kemampuannya untuk berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret. Dalam artian bahwa anak mulai berpikir rasional, serta mampu mengambil keputusan secara logis yang bersifat konkrit—dan mampu mempertimbangkan aspek bentuk dan ukuran. 

Adanya keterampilan klasifikasi—dapat menggolongkan beberapa benda-benda ke dalam perangkat-perangkat dan penalarannya logis dan bersifat tidak abstrak (tidak membayangkan persamaan aljabar).Tahap operasional konkrit ini mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.

Berikut penjelasann proses-proses penting selama tahapan ini:


Pengurutan—kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)

Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.

Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. 

Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.

Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. 

Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

Menurut Hill Winfred (2011), pada tahapan Piaget ini, sebenarnya anak sudah mampu menangkap hubungan yang ada diantara hirearki-hirearki istilah, seperti bangau, burung dan makhluk hidup. Artinya anak dalam tahapan ini dapat mengetahui pembalikan urutan (reversibility); apa yang ditambah dapat di kurangi, dan materi tertentu yang telah berubah bentuknya bisa dipulihkan ke bentuk semula, dimana anak dalam tahapan ini tidak akan membuat kekeliruan seperti anak pada tahapan praoperasional, yang mungkin berkata “aku punya saudara, tapi dia tidak punya saudara !”. 

Jadi, tahapan ini juga kemudian ditandai dengan awal tumbuhnya bahasa dan dikaitkan dengan permulaan sekolah, sekalipun akhirnya Piaget mengatakan bahwa yang terjadi tidak harus seperti itu.

Dalam mempertegas tahapan Piaget ini, Hergenhahn & Olson Matthew (2010) menyatakan bahwa jika seorang anak sebelumnya belum memiliki konsep, maka mereka tidak akan mampu memecahkan masalah atau problem yang dihadapi. 

Tetapi jika selama tahap ini proses pemikiran di arahkan pada kejadian riil yang dapat di amati oleh anak, maka anak tersebut dapat melakukan operasi problem yang agak kompleks selama problem yang dihadapi itu konkrit dan tidak abstrak.

3. Tahap Operasi Formal (usia 11 tahun sampai dewasa).
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini ditandai dengan apa yang di alami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. 

Dalam hal ini, anak akan mampu menangani situasi hipotesis, dan proses berpikirnya tidak lagi bergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil. Artinya bahwa dalam tahapan ini, anak akan memiliki pemikiran dan pemahaman yang logis. 

Sehingga aparatus mental yang di milikinya akan semakin jauh lebih baik, tetapi juga aparatus ini dapat di arahkan kepada solusi dari berbagai problem kehidupan yang tak berkesudahan.

Sehingga nampak bahwa karakteristik anak yang dimiliki dalam tahapan ini adalah dengan di perolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. 

Dalam tahapan ini, anak dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. 

Di lihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), yang menandai masuknya seorang remaja ke dalam dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, dan perkembangan psikoseksual, serta perkembangan sosial. 

Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Referensi Buku
Busthan Abdy (2016). Perkembangan Peserta Didik. Kupang: Desna Life Ministry

.

Post a Comment

Profil Saya

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6vbBZ2pWiZ3UT6KzmydJsI8uu2evuDFDFRWIfl2X4fVu5h281O_CQlp3axcC7ZJpfx2f2br7EPr6mDG9Mdpg-3IC2EUHXJ9rFDRNcrs3wlJGMJ5HrazVTt8Z8Y4_-8oQVkBbWYmQD-ig/s640/r56722.jpg} Abdy Busthan adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran, serta pembina dan peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua. {facebook#https://www.facebook.com/AbdyBS/} {twitter#https://twitter.com/abdybusthan} {google#https://busthan-abdy.blogspot.com/} {pinterest#https://id.pinterest.com/abdybusthan213/} {youtube#https://www.youtube.com/channel/UCnLMvY91iOTKgfvwd2hfJsg?view_as=subscriber} {instagram#https://www.instagram.com/busthanabdy/}
Theme images by sbayram. Powered by Blogger.