Apa kabar kereta-kereta penakluk badai,
Adakah sepenggal naif dalam maaf tersisah,
Ditengah riuhnya sabda kian tergadai,
Dalam penjunan waktu, bergeming resah
Sungguh hadirmu bersenandung tirai,
Selaksa parodi, melagukan nestapa hati,
Sudahkah maafmu berteduh menanti,
Semisal kuncup, meretas kidung nurani
Kami adalah hiruk, lalu pikuk
Menderai lara, menyingkap simponi
Semerbak petaka, bias membungkuk
Bersenandung tawa, merajam harmoni
Diam dalam diam kami menanti,
Demi penantian menyulam kinanti,
Derai dalam derai kami meniti,
Demi harapan seketika terhenti
Tolonglah kami hai banyu senja,
Kami titian luka kaum terlupakan,
Tiliklah kami hai tuan keniscayaan,
Kami kemuning menderai lara
Sejenak bertahan di ujung ketiadaan,
Seperti ketiadaan melenyapkan keberadaan,
Seberapa besar kami menyimpan kerinduan,
Sebesar itu kerinduan kami tersimpan
Dengar…dengarkanlah kafila kebenaran,
Mengapa tak mampu lagi mengucap salam?
Dekap..dekapkanlah kelakar pertikaian,
Mungkinkah tersirat naluri terpendam ?
Masihkah kau di sana hai riak bertubir jenuh ?
Memelas membisu, diantara sujud berpeluh,
Mestikah sembilu kian liar berletih lesuh ?
Menyongsong keraguan, mengakar keluh
Kami prosais malam, kiat menerjang,
Kami prolog kekhilafan, kian meraung,
Karena kami terlelap seketika bergeming,
Karena kami terlahir dengan telanjang
Adakah sepenggal naif dalam maaf tersisah,
Ditengah riuhnya sabda kian tergadai,
Dalam penjunan waktu, bergeming resah
Sungguh hadirmu bersenandung tirai,
Selaksa parodi, melagukan nestapa hati,
Sudahkah maafmu berteduh menanti,
Semisal kuncup, meretas kidung nurani
Kami adalah hiruk, lalu pikuk
Menderai lara, menyingkap simponi
Semerbak petaka, bias membungkuk
Bersenandung tawa, merajam harmoni
Diam dalam diam kami menanti,
Demi penantian menyulam kinanti,
Derai dalam derai kami meniti,
Demi harapan seketika terhenti
Tolonglah kami hai banyu senja,
Kami titian luka kaum terlupakan,
Tiliklah kami hai tuan keniscayaan,
Kami kemuning menderai lara
Sejenak bertahan di ujung ketiadaan,
Seperti ketiadaan melenyapkan keberadaan,
Seberapa besar kami menyimpan kerinduan,
Sebesar itu kerinduan kami tersimpan
Dengar…dengarkanlah kafila kebenaran,
Mengapa tak mampu lagi mengucap salam?
Dekap..dekapkanlah kelakar pertikaian,
Mungkinkah tersirat naluri terpendam ?
Masihkah kau di sana hai riak bertubir jenuh ?
Memelas membisu, diantara sujud berpeluh,
Mestikah sembilu kian liar berletih lesuh ?
Menyongsong keraguan, mengakar keluh
Kami prosais malam, kiat menerjang,
Kami prolog kekhilafan, kian meraung,
Karena kami terlelap seketika bergeming,
Karena kami terlahir dengan telanjang
TELANJANG
Karya: Abdy Busthan
Karya: Abdy Busthan
Post a Comment