Oleh: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd.
Secara teoritis, setiap orang akan merasa kesulitan untuk memulai darimana, bagaimana, seperti apa, dan dengan cara apa, ia dapat mendefenisikan istilah postmodern---istilah ini sangat bertendensi memunculkan berbagai macam pluralistis makna yang tidak dapat disepakati bersama.
Tung Yao Khoe dalam Busthan Abdy (2016) berpendapat bahwa postmodernisme adalah reaksi dari modernisme yang adalah hasrat untuk memahami dunia dengan menggunakan rasio. Tetapi harus dipahami, bahwa keberadaan postmodernisme bukanlah untuk mengakhiri masa modern. Sebab keduanya masih tetap berlangsung, sama seperti berlakunya filsafat-filsafat lain.
Selanjutnya Gene E Veith dalam Busthan Abdy (2016) juga menyatakan bahwa, postmodernisme merupakan respons dari kegagalan-kegagalan masa pencerahan, sekaligus menyingkirkan kebenarannya. Di sini, intelektualitas kemudian digantikan dengan keinginan, sedangkan penyebab digantikan emosi, dan moralitas digantikan dengan relativisme, sementara realitas digantikan pula dengan konstruksi sosial.
Senada dengan itu, O'Donnell Kevin (2003) dalam buku berjudul "Postmodernism", menyatakan bahwa kita tidak dapat memahami istilah postmodern ini tanpa terlebih dahulu melihat ke modernisme, di mana modernisme ini berasal dari gerakan terdahulu yang membuat temuan baru atau menemukan kembali pengetahuan lama. Sehingga untuk memahami postmodernisme, kita harus menelusuri kembali leluhurnya melalui sejarah dan melihat terhadap apa postmodernisme ini bereaksi.
Sehingga menurut Busthan Abdy (2016), jika era atau masa "modernisme" di rujuk kembali ke belakang, maka orang akan mengenang kembali masa atau era "pra-modernisme". Sebaliknya, jika dilihat ke depan, maka orang pun akan diperhadapkan pada suatu era baru, yang biasanya di kenal dengan istilah "post-modernisme". Karena itu, maka dalam peradaban insan manusia, terdapat 3 (tiga) era yang memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu era: pra-modern, modern dan postmodern.
Era Pra-modernisme
Era ini adalah masa awal yang bermula dari middle age atau masa reinassance. Pada masa ini, kekuasaan penuh dipegang oleh agama yang menjadi puncak dari segala hierarki kehidupan manusia. Dalam hal ini, semua hal yang tidak berhubungan dengan gereja (seperti: sains, ilmu kesehatan, dll) kemudian dianggap sebagai sihir jahat dan harus dihancurkan.
Era ini adalah masa awal yang bermula dari middle age atau masa reinassance. Pada masa ini, kekuasaan penuh dipegang oleh agama yang menjadi puncak dari segala hierarki kehidupan manusia. Dalam hal ini, semua hal yang tidak berhubungan dengan gereja (seperti: sains, ilmu kesehatan, dll) kemudian dianggap sebagai sihir jahat dan harus dihancurkan.
Urutan hierarki zaman pra-modern, diawali dengan: 1) Pemuka Agama; 2) Raja atau Bangsawan; dan 3) Rakyat. Dalam zaman ini, semua pekerjaan dilakukan oleh rakyat, yang ditujukan untuk kebutuhan dan kepentingan gereja. Dengan minimnya teknologi di zaman tersebut, semua barang dibuat secara manual oleh rakyat yang merupakan tingkatan terbawah dari hierarki.
Pada zaman ini, tingkat pengetahuan dan peradaban manusia terbagi dalam beberapa level, mulai dari era pemburu dan peramu, hortikultur sederhana, hortikultur sederhana kontemporer, hortikultur intensif, masyarakat agraris, hingga masyarakat pastoralis.
Desain yang diciptakan untuk keperluan metafisis atau spiritual pada masa ini, lebih menekankan pada aspek simbol dan tanda dari suatu figur atau unsur-unsur tertentu. Itulah sebabnya, maka desain era pra sejarah hingga sebelum modernisme, lebih banyak bersifat "Form Follow Meaning" yaitu bentuk terikat oleh konsep-konsep pertandaan yang bermuara pada spiritualitas.
Sistem produksi di masa ini, dilakukan secara manual. Semua produk seperti halnya baju, biasanya diproduksi sendiri. Kemudian muncul sistem barter, yaitu misalnya baju ditukar dengan hasil pertanian. Jika diberi skala, maka skala yang ada yaitu kecil.
Sehingga terjadi pemberontakan berkepanjangan yang melahirkan kejadian besar dalam masa ini yaitu "perang salib" (terjadi dari abad ke-11-abad-13). Dalam perang ini, para ksatria (crusader) berjuang demi mempertahankan keyakinan agamanya, serta berjuang untuk dapat mempertahankan pemerintahan Eropa dari desakan pengaruh pemerintahan Islam dari Timur Tengah.
Beberapa teori yang berasal dan bermuara dari sejarah perkembangan kebudayaan pada masa ini, diantaranya adalah teori "masa poros" dari Karl Jaspers, yang terdiri dari pembagian lima periode hingga memasuki masa modernisme.
Pertama. Pendapat Jaspers tentang periode pertama adalah, 1) Manusia telah menggunakan api dan alat bantu sederhana, seperti: kapak, kulit pohon, atau kulit binatang; 2) Telah digunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Suara telah berperan sebagai simbol; 3) Terbentuk kesadaran sebagai manusia, dan orang mulai membentuk kelompok-kelompok atau suku-suku yang mempunyai struktur sosial; dan 4) Kesadaran sebagai manusia telah menghasilkan
Kedua. Periode kedua merupakan perkembangan lanjut dari kebudayaan tua di sekitar sungai Nil, Hoang Ho ataupun dari kebudayaan India. Hal-hal yang terjadi adalah: 1) Timbulnya struktur sosial dan pengaturan organisasi kemasyarakatan yang lebih rumit; 2) Ditemukannya sistem komunikasi dengan tulisan (Hrozny 3300 SM, sumeria 3000 SM, Mesir 2000 SM, dan China 2000 SM); dan 3) Tumbuhnya bangsa-bangsa yang memiliki struktur bahasa dan mitologi yang sama dan serupa; 4) Timbulnya kolonialisme; serta 5) Penggunaan tenaga hewan, khususnya kuda sebagai alat transportasi.
Ketiga.Periode ketiga ditandai dengan kemampuan melepaskan diri dari kontinuitas sejarah masa lalu. Mulai timbulnya agama-agama besar dunia, dan timbul pula pertarungan antara rasionalitas dan mitos.
Keempat. Pada periode keempat, ilmu pengetahuan (sains) mulai berkembang seiring dengan bermunculnya filosof dan pemikir besar, seperti: Descartes, Hegel, Keppler, Galilei, James Watt dsb.
Kelima.Periode kelima, lahirlah era "modernisme" yang setidaknya dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: 1) Ilmu pengetahuan Alam; 2) Semangat eksplorasi; dan 3) Organisasi kerja.
Era Modernisme
Zaman ini ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek total. Era modern adalah zaman di mana kalimat "Cogito Ergo Sum" menjadi realitas---nyata. Dalam zaman modern, manusia diminta untuk berpikir sendiri, karena sumber dari segala sesuatu adalah manusia. Sehingga era ini banyak sekali menghasilkan penemuan (age of discoveries).
Apalagi setelah pernyataan sang filsuf Rene Descartes: "Cogito ergo sum", yang artinya 'aku berpikir maka aku ada'---melalui pernyataan ini---manusia kemudian dibimbing oleh rasionya sebagai subjek yang berorientasi pada dirinya sendiri, sehingga rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya sendiri. Sehingga pada masa ini, muncullah berbagai macam teori yang berlaku sampai sekarang.
Disamping itu, dalam zaman modern, muncul pula janji-janji (pemberontakan) modernisme "pencerahan", yaitu:
- Kemerdekaan bagi manusia, yang tidak ada lagi dalam kungkungan agama bagi manusia.
- Keadilan bagi manusia, yang tidak ada lagi hierarki, sebab semua orang memiliki kekuatan atau hak yang sama
- Kemakmuran bagi manusia, yaitu dengan adanya mesin-mesin dari hasil penemuan sains dan teknologi, produksi manufaktur meningkat, manusia bisa lebih makmur dengan hasil penjualan massal.
- Kemajuan bagi manusia, yang ditandai dengan kebebasan berpikir, tanpa dihalang-halangi oleh gereja, manusia akan lebih maju, karena bisa 'bebas' memperoleh ilmu pengetahuan.
Disamping ke-empat hal di atas, beberapa peristiwa juga terjadi pada masa ini, yaitu:
- Terjadinya industri massal akibat ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada saat revolusi industri.
- Penjajahan terhadap koloni bangsa lain untuk mencari SDA dan SDM yang dibutuhkan akibat munculnya pabrik dan manufaktur.
- Terjadi perusakan lingkungan karena dieksploitasi secara terus menerus demi kemajuan produksi.
- Tidak terdapat karakter dan perbedaan karena mengikuti "Form Follow Function"
- Terjadilah perang yang memanfaatkan kemajuan teknologi dan sains.
- Sehingga, muncullah kapitalisme yang menekan orang bawah karena masalah keuangan.
Menurut Anthony Giddens (2004:235), modernitas pada dasarnya bersifat global, dan sejumlah konsekuensi tidak menentu dari fenomena ini, kemudian menyatu dengan sirkularitas karakter refleksif untuk membentuk suatu jagad peristiwa dimana resiko dan bahaya memiliki bentuk yang baru. Kecenderungan global modernitas bersifat ekstensional sekaligus intensional.
Dua citra yang terkait bagaimana rasanya hidup di dunia modernitas adalah, bagaimana menurut pendapat Max Weber dan Karl Marx.---Menurut Weber, dalam masa ini, ikatan rasionalitas makin ketat dari hari ke hari, sehingga cukup untuk memenjarakan manusia di dalam jeruji yang tak tampak rutinitas birokrasi.
Sementara menurut Karl Marx, modernitas adalah "monster" yang merusak kehidupan dan tak dapat diperbaiki. Modernitas bagi Marx adalah seperti apa yang dikatakan Habermas dengan "proyek tak terselesaikan". Bagi Marx, monster ini memang dapat dijinakkan, karena hal-hal yang telah diciptakan manusia selalu dapat ditempatkan dibawah kontrol mereka sendiri.
Sehingga "kapitalisme" ala Marx, adalah salah satu cara irasional untuk menjalankan dunia modern, karena Marx menggantikan godaan pasar dengan pemenuhan kebutuhan manusia secara terkendali. Itu sebabnya, banyak kalangan menganggap bahwa zaman modern tidak ada bedanya dengan zaman pra-modern. Karena setelah lolos dari jajahan gereja di zaman pra-modern, mereka pun kembali dijajah oleh ilmu pengetahuan dan kapitalisme.
Era Post-Modernisme
Mungkin lebih tepatnya dikatakan bahwa zaman ini adalah "saat ini" dan "di sini"--dimana kita berada sekarang. Pemikiran pada periode ini menamakan dirinya dengan istilah "postmodern", yang lebih memfokuskan diri pada teori kritis, yaitu yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi.
Kemajuan dan emansipasi dalam konteks ini, adalah dua hal yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, seperti yang dinyatakan oleh Habermas, bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.
Era postmodern adalah anti-thesis dari era modern. Dalam era postmodern, ada ungkapan, "Siapapun orangnya, selama ia menghasilkan "sesuatu" maka akan dianggap dan didengar". Selain itu, era postmodern, ditandai juga dengan kembalinya "identitas" yang pernah hilang pada zaman modern, di mana saat itu manusia dianggap sebagai robot yang tidak memiliki emosi dan perasaan.
Namun, tidak hanya terjadi pada manusia saja, hal ini juga terjadi dengan ditandainya identitas yang banyak bermunculan pada produk-produk yang dapat membedakan suatu produk dengan produk lainnya, sehingga masing--masing dari produk tersebut, kemudian memiliki kelebihan dan kekurangannya masing--masing.
Beberapa karakteristik terpenting dalam budaya postmodern antara lain adalah:
- Ketidakmenentuan, di mana pada waktu itu masyarakat diberi kebebasan untuk melakukan apa yang ia mau
- Terbagi-bagi (terfragmentasi), dimana tidak adanya titik pusat yang menentukan segala sesuatu (pluralisme)
- Relativisme bermunculan, sehingga tidak mempercayai semua hal yang bersifat universal, karena semuanya menjadi sangat relatif.
- Era ini terjadi ketika batas antara seni dan kehidupan sehari-hari menjadi hilang.
- Kebebasan mengubah hidup menjadi karya seni, yaitu dengan mengindah-indahkan segala sesuatu dalam kehidupan.
- Kemunculan citra-citra tertentu dalam masyarakat, seperti dalam diri seniman, pencinta lingkungan, vegetarian, dan anti kemapanan, dsb.
Titik Awal Potmodernisme
Menurut Busthan Abdy (2016), berdasarkan asal usul dari katanya, post-modern-isme berasal dari bahasa Inggris yang artinya paham (isme) yang berkembang setelah (post) modern. Terdapat 4 (empat) anggapan penting mengenai kemunculan istilah postmodern ini, yaitu sebagai berikut:
Pertama, beberapa kalangan menganggap istilah ini digunakan pertama kali oleh para seniman pada tahun 1930 (akhir abad-19 dan awal abad ke-20) yaitu dalam bidang seni oleh seorang Federico de Onis, sebagai tujuannya adalah untuk menunjukkan reaksi dari masa sebelumnya, yaitu moderninisme. Kemudian pada bidang sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu maka berkembang dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri.
Kedua, beberapa kalangan lagi beranggapan bahwa, postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, pada tanggal 15 Juli, tahun 1972, tepatnya pukul 3:32 sore. Saat itu, pertama kali didirikan proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis, yang dianggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi selanjutnya, para penghuninya justru menghancurkan bangunan itu dengan sengaja.Akhirnya, pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi kembali bangunan itu. Namun akhirnya, setelah banyak menghabiskan jutaan dollar, pemerintah pun menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu akhirnya diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks---yang dianggap sebagai arsitek postmodern paling berpengaruh---peristiwa dari peledakan itu selanjutnya menandai akan kematian modernism, dan menandakan kelahiran postmodernisme.
Ketiga,berdasarkan perspektif filsafat, maka karakter yang khas dari modernisme adalah, bahwa ia selalu berusaha untuk mencari dasar "pengetahuan" (episteme, Wissenschaft) tentang "apa" nya (ta onta) realitas, yaitu dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui (dipahami secara psikologis dan transendental). Di sana diharapkan dapat ditemukannya suatu "kepastian" yang sangat mendasar bagi pengetahuan manusia tentang "realitas", yaitu realitas yang dibayangkan sebagai realitas luar (Sugiharto Bambang, 1996: 33). Sebab itu, maka dalam postmodernisme, pemahaman manusia kemudian dibangun berdasarkan pada perspektif masyarakat dengan "subjektifitas" dan "bahasa". Pada titik ini, kebenaran tidak ada yang absolut, sebab kebenaran bersifat relatif dan diragukan.
Keempat,sebagian kalangan dari golongan akademisi, mengklaim bahwa masa porstmodernisme dimulai dengan dihancurkannya tembok Berlin ditahun 1989, yaitu setelah 21 tahun dibangun. Ada pula yang menyebutkan bahwa pada tahun 1960 telah terjadi pemberontakkan besar-besaran yang dilakukan oleh para anak muda terhadap kemapanan pada periode tersebut (Greene Albert, 1995: 17).
Terlepas dari keempat anggapan di atas, di tahun 1975, Charles Jenks dalam karya berjudul "The Language of Post-ModernArchitecture" (2002), yang selanjutnya dijelaskan kembali dalam bukunya berjudul "What is Postmodernism" (1986) tentang rumusan unsur kunci dalam realitas postmodern, yang mana dia menyatakan bahwa simplikasi modernis, gaya minimalis, dan gaya ber-tren secara universal, di olah kembali secara dekoratif.
Dalam hal ini---secara ironis---berbagai gaya dan zaman sengaja dicampuradukkan, sebab para arsitek tidak lagi percaya pada gaya yang dominan. Mereka tidak lagi hanya berfokus pada gaya di zaman mereka saja, tetapi dengan melangkah memandang bahwa semua gaya terdahulu adalah sesuatu yang dapat di akses.
Selanjutnya di tahun 1970-an, para filsuf postmodern kontinental muncul dan menjadi populer dari AS, yang sekaligus mengantarkan istilah postmodern ini semakin terkenal bahkan populer untuk dapat digunakan dimana-mana. Timbul pertanyaan mendasar, apa itu "sesudah" (post)? Dan apa itu modern? Semua "sesudah" yang kita dengar, sebagian ditentukan oleh apa yang datang sebelumnya, mereka tergantung dan bereaksi terhadap gerakan terdahulu.
Jadi untuk bisa mengetahui titik awal kemunculan era postmodernisme ini, maka seseorang tidak dapat memahami postmodernisme tanpa terlebih dahulu melihat ke modernisme yang berasal dari gerakan terdahulu yang membuat temuan baru atau yang menemukan kembali pengetahuan lama. Sehingga untuk memahami lebih dalam tentang dunia postmodernisme, kita harus menelusuri kembali leluhurnya melalui perjalanan sejarah dengan melihat terhadap apa postmodernisme bereaksi (0'Donnell Kevin, dalam Busthan Abdy, 2016).
Sumber buku:
Busthan Abdy. (2016). Kristus versus tuhan-tuhan Postmo. Kupang: Desna Life Ministry. (ISBN:978-602-74103-8-1)
Post a Comment