Oleh: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
Ada semacam aforisme menarik yang kerapkali muncul di negara ini menjelang Pilkada, yaitu bahwa "agama" hampir menjadi satu-satunya pengetahuan sosial publik yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan rasionalitas pengetahuan (vernunft) dan lebih dasyat dari naluri intelektual (verstand).
Dalam istilah Immanuel Kant, bisa kita katakan bahwa agama lebih memacu perubahan, histeria atau amuk massa. Bahkan agama sangat menggetarkan sensori publik hingga mempengaruhi setiap kebijakan publik di negara ini.
Ironisnya lagi, meskipun harus berseteru dengan siapa saja, rupanya para politikus di negara ini juga gandrung menggandeng jalur agama sebagai sekutu dalam merebut kuasa politik praktis dan pragmatis.
Dan akhirnya, politik agama selalu menggetarkan panggung Pilkada dengan semakin memperkokoh politik persuasi hingga mengumbar ragam provokasi. Dan selalu saja, upaya memperdagangkan agama pada situasi Pilkada memang lebih pekat konsentratnya.
Coba Anda perhatikan, tiba-tiba saja pasangan politik yang terkenal paling sekuler sekalipun, akan fasih membaca dan menafsir Kitab Suci. Bahkan mereka bisa mahir menggunakan Surban dan Tasbih semata-mata hanya untuk kepentingan politik.
Religiusitas yang Fanatik Beragama
"Indonesia termasuk negara yang paling religius di muka bumi ini". Demikianlah sebuah kesimpulan dari salah satu penelitian di Jerman, yang dilakukan oleh Yayasan Bertelsman di tahun 2009. Beberapa kriterianya adalah: percaya kepada Tuhan, percaya dunia roh, dan kuasa gaib, berdoa secara teratur, dan fanatik beragama.
Namun timbul persoalan. Pada titik ini agama justru di junjung tinggi, setinggi-tingginya melampaui substansi yang sebenarnya dari agama itu sendiri. Akhirnya umat memeluk agama tanpa memeluk kemanusiaan. Sehingga korelasi antara religiusitas dan kesalehan sosial tidak nampak sama sekali.
Etos kerja pun menjadi rendah, bahkan cenderung konsumtif (menikmati) daripada produktif. Fenomena ini dapat kita katakan sebagai suatu keberagaman yang mengalami krisis komplikasi. Atau saya ingin memberikan julukan baru dengan kalimat: "penghancuran yang sangat sempurnah" (perfect destruction) terhadap naluri religiusitas itu sendiri.
Bisa kita lihat beberapa kejadian yang sering terjadi. Bahwa atas nama agama, harkat sesama makhluk yang dikasihi Tuhan kerapkali dilecehkan di negaranya sendiri. Tempat ibadah pun di rusak. Bahkan orang yang mau beribadah pun dihambat. Inilah ciri-ciri "rasa keagamaan" yang lebih tinggi dari rasa ketuhanan (boleh dibaca: fanatik beragama).
Nalar Agama & Nalar Pilkada
Mari kita kembali kepada soal Pilkada. Pertanyaan menggelitik terkait uraian di atas adalah, apakah agama memiliki rasionalitas dan nalar intelektual yang berbeda dengan nalar dan rasionalitas pengetahuan pada umumnya? Khususnya nalar Pilkada?
Nalar agama seharusnya tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal, seperti: keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Nalar agama harus progresif dan proaktif dengan situasi yang berkembang dalam konteks historisitas masyarakat dan normativitas kebangsaan.
Untuk konteks Bangsa Indonesia, agama seharusnya tidak lagi dipertentangkan dengan konstitusionalisme, Pancasila dan UUD 1945. Bahkan sungguh tidak perlu untuk diperdebatkan dengan kerangka nasionalis yang sudah tertanam abadi dalam konsepsi Bhinneka Tunggal Ika.
Demikian pula nalar Pilkada. Ia harus dilihat sebagai pergulatan dialektis bangsa Indonesia pasca reformasi, yaitu dalam merumuskan nilai-nilai demokrasi. Sebab Pilkada adalah manifestasi politik dan etik lokal yang sejatinya dimulai dari UU No. 23 tahun 2014, dan yang kini dalam UU No. 8 tahun 2015.
Salam..wassalam...Hormat di Bri
Post a Comment