Guru wajib memiliki integritas yang kuat, sekaligus menguasai setiap bidang ilmu pengetahuannya dengan mumpuni. Guru tidak bisa berhadapan dengan peserta didiknya, jika tidak melengkapi diri dengan seperangkat ilmu yang cukup dan sekaligus memiliki komitmen kuat untuk menunaikan tugasnya dalam kasih, dan sayang. Sebabnya maka, prinsip dasar dalam memahami integritas seorang guru adalah: “bagaimana seorang siswa berperilaku, akan menentukan bagaimana seorang guru mengajar”. Dan hal ini tidak dapat dibalik menjadi: bagaimana seorang guru mengajar, akan menentukan bagaimana nantinya seorang siswa berperilaku.
Jadi, hal terpenting bukanlah apa yang guru lakukan sebagai pendidik, tetapi apa yang dilakukan siswa sebagai hasil dari ajaran guru tersebut. Sebagaimana diungkapkan seorang pendidik terkenal, Hendriks G Howard (1987) bahwa, ujian mengajar yang utama, bukanlah apa yang Anda lakukan atau seberapa baik Anda melakukannya, tetapi apa dan seberapa baik yang dilakukan orang yang Anda ajar. Itulah sebabnya, guru yang berintegritas adalah guru yang menjadikan dirinya sebagai seorang pelayan—Ia harus mengasihi dengan segenap hati dan jiwa, segenap perbuatan dan dengan segenap akal budinya (Lukas 10:27). Jika hal ini sudah dilakukan, maka akan hadir harmoni yang sungguh sangat menyenangkan dalam proses belajar-mengajar.
Namun, dalam realitas pendidikan di Indonesia, tidak sedikit guru yang tidak menyadari akan profesi mereka sebagai guru yang profesional. Hal ini bukan tidak beralasan, mengingat berbagai kasus kekerasan yang kerapkali dilakukan oleh guru, mulai bermunculan sejak tahun 2016 hingga kini.
Sebut saja, kejadian kekerasan pada pertengahan bulan Februari 2016 yang menimpa salah satu siswi kelas VIII SMPN 1 Kamal, Kabupaten Bangkalan, di kota Madura Jawa Timur. Siswa yang bernama Eka Oktaviana tersebut, dilaporkan telah mengalami trauma yang berkepanjangan, bahkan stres berat, akibat di tampar oleh guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris di kelasnya.
Akibat dari kejadian penamparan tersebut, maka Eka akhirnya mengalami perawatan serius, dan harus opname di Puskesmas Kamal (Lihat: sindonews.com.http://daerah.sindonews.com/read/1087742/23/ditampar-guru-bahasa-inggris-anna-alami-stres-1456237428/).
Kekerasan guru lainnya, juga terjadi pada awal bulan April 2016, dimana seorang guru yang berada di kota Medan Sumatera Utara, tega memukul kepala dan menusuk tangan siswanya, hanya karena siswanya terlambat untuk masuk ke kelas ketika pelajaran sedang dimulai
(Lihat: sindonews.com.http://daerah.sindonews.com/read/1099863/191/terlambat-masuk-kelas-siswa-sd-ditusuk-guru-1460296688/).
Dua kejadian tragis di atas, seyogyanya menggambarkan bahwa masih banyak guru di medan merdeka ini, yang tidak menyadari dengan sungguh-sungguh bagaimana seharusnya ia mendidik siswa dengan menempatkan eksistensi dan integritas diri sebagai pendidik yang melayani dengan hati yang mengasihi.
Menghukum siswa dengan kekerasan, sesungguhnya akan membawa dampak buruk pada kehidupan siswa. Seharusnya hukuman yang diberikan seorang guru, bukanlah semata-mata ‘hanya’ untuk menghentikan perilaku siswa yang tidak diinginkan saja, tetapi hukuman yang berintegritas adalah bagaimana nantinya hukuman itu dapat pula memunculkan perilaku baru yang diinginkan bersama.
Dua kejadian tragis di atas, seyogyanya menggambarkan bahwa masih banyak guru di medan merdeka ini, yang tidak menyadari dengan sungguh-sungguh bagaimana seharusnya ia mendidik siswa dengan menempatkan eksistensi dan integritas diri sebagai pendidik yang melayani dengan hati yang mengasihi.
Menghukum siswa dengan kekerasan, sesungguhnya akan membawa dampak buruk pada kehidupan siswa. Seharusnya hukuman yang diberikan seorang guru, bukanlah semata-mata ‘hanya’ untuk menghentikan perilaku siswa yang tidak diinginkan saja, tetapi hukuman yang berintegritas adalah bagaimana nantinya hukuman itu dapat pula memunculkan perilaku baru yang diinginkan bersama.
Inilah hal urgen memahami lebih dalam tentang profesi kependidikan guru. Kejadian kekerasan di atas, juga menunjukkan bahwa masih banyak guru di republik tercinta ini yang belum memahami dengan baik, tentang bagaimana profesionalitas guru yang harus di gugu dan di tiru. Bahkan kejadian kekerasan itu, sesungguhnya memberikan sebuah “warning”, bahwa masih banyak guru di Indonesia, tidak mengerti apa dan bagaimana “profesi kependidikan” itu?
Profesi kependidikan adalah bidang pekerjaan mulia! Menjadi mulia karena ia adalah “teacher of life”—gurunya kehidupan. Dalam setiap bidang kehidupan apapun, guru adalah tempat didapatkannya pengetahuan dan keahlian.
Profesi kependidikan adalah bidang pekerjaan mulia! Menjadi mulia karena ia adalah “teacher of life”—gurunya kehidupan. Dalam setiap bidang kehidupan apapun, guru adalah tempat didapatkannya pengetahuan dan keahlian.
Anda tidak akan mungkin mendapatkan pengetahuan, tanpa melalui didikan seorang guru! Bahkan semua profesi yang ada dan yang sedang dilakoni siapapun di dunia ini, semuanya berasal dari apa yang pernah diajarkan oleh seorang guru—baik itu formal atau non formal. Itu sebabnya, suara seorang guru adalah awal pengetahuan. Guru profesional harus dapat memahami bagaimana ia menjalankan profesi kependidikannya secara berintegritas dalam kasih dan kebenaran.
Sebagai pekerjaan ataupun sebagai profesi, guru profesional merupakan komponen utama penting dalam sistem pendidikan nasional—disamping siswa dan kurikulum. Guru merupakan ‘condition sine quanon´ atau syarat mutlak dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah formal. Melalui mediator guru atau pendidik, siswa dapat memperoleh menu sajian bahan ajar yang di olah dalam kurikulum nasional ataupun dalam kurikulum muatan lokal.
Sebab itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator yang dapat membuat siswa belajar dan mengembangkan potensi dasar serta kemampuannya secara optimal, yaitu melalui lembaga pendidikan di sekolah-sekolah formal—baik yang didirikan pemerintah maupun masyarakat atau swasta.
Sebagai pekerjaan ataupun sebagai profesi, guru profesional merupakan komponen utama penting dalam sistem pendidikan nasional—disamping siswa dan kurikulum. Guru merupakan ‘condition sine quanon´ atau syarat mutlak dalam proses pendidikan di sekolah-sekolah formal. Melalui mediator guru atau pendidik, siswa dapat memperoleh menu sajian bahan ajar yang di olah dalam kurikulum nasional ataupun dalam kurikulum muatan lokal.
Sebab itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai fasilitator yang dapat membuat siswa belajar dan mengembangkan potensi dasar serta kemampuannya secara optimal, yaitu melalui lembaga pendidikan di sekolah-sekolah formal—baik yang didirikan pemerintah maupun masyarakat atau swasta.
Oleh: Abdy Busthan
Post a Comment