Jika kita mau mendefinisikan "Filsafat", ada dua hal yang harus kita pahami, yaitu: pengetahuan dan kepastian. Setiap pengetahuan, dimulai dengan rasa ingin tahu. Sedangkan sebuah kepastian, akan diawali dengan keraguan. Filsafat dimulai dengan keduanya: pengetahuan dan kepastian. Filsafat mendorong siapa saja yang ingin mempelajarinya untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Dengan masuk ke dalam kondisi yang meragukan sesuatu, demi mencari sebuah kepastian.
Apa itu Filsafat?
Apa itu filsafat? Menurut Busthan Abdy (2017), pertanyaan ini sama persis dengan pertanyaan, apa itu cinta? Kedua pertanyaan ini akan sulit dijawab, apabila kita tidak mengkajinya secara lebih “mendalam”. Sebab kedua pertanyaan membutuhkan jawaban yang tidak saja abstrak, tetapi konkreet.
Cinta adalah sebuah perasaan yang mendalam terhadap seseorang atau sesama manusia. Konteks mendalam di sini merujuk pada konsep “dengan segenap”, seperti: dengan usaha maksimal, dengan seluruh eksistensi, dengan semampu-mampunya, dengan sekuat-kuatnya, dengan seluruhnya, dll. Artinya bahwa pencinta sejati, akan mencintai dengan segenap cintanya yang mencintai.
Demikan halnya dengan filsafat. Filsafat adalah berpikir dengan mendalam. Dalam pemahaman bahwa, ketika seseorang berfilsafat, maka ia akan melakukannya secara mendalam, yaitu dengan segenap usaha yang maksimal, segenap eksistensi, segenap kemampuan, segenap kekuatan, dan dengan seluruh apa yang dipikirkannya. Sehingga ketika seseorang itu berfilsafat, maka ia akan berfilsafat dengan segenap pikiran yang berpikir.
Sejarah Filsafat
Para pemikir filsafati yang pertama, mereka hidup di Miletos, sekitar abad ke-6 SM. Bagaimana persisnya ajaran mereka, memang sulit ditetapkan. Sebab sebelum Plato, tidak ada hasil karya para filsuf itu yang telah sepenuhnya dibukukan, demikian dijelaskan oleh Harun Hadiwijono (2012).
Beberapa kalangan berpendapat bahwa filsafat, khususnya filsafat barat, juga muncul di Yunani semenjak abad ke 7 S.M. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan, dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka berada, dan tidak menggantungkan dirinya kepada doktrin agama untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan oleh penalaran yang mendalam.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta yang sekarang daerahnya di pesisir barat Turki. Tapi, filsuf-filsuf Yunani yang terbesar adalah Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato.
Bahkan, banyak kalangan yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Buku karangan Plato yg terkenal diantaranya berjudul: etika, republik, apologi, phaedo, dan krito.
Mungkin saja banyak kalangan yang bertanya-tanya mengapa filsafat itu muncul di negara Yunani, dan tidak di daerah beradab lainnya saat itu, seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana, sebab di Yunani, manusia saling mengkritik dengan menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi-spekulasi pemikiran yang mendalam. Di samping itu, di Yunani tidak seperti di daerah lain-lainnya, bahwa di sana memang tidak ada kasta pendeta yang mempengaruhi pemikiran seseorang dengan seperangkat doktrin-doktrin keagamaannya, sehingga secara intelektual orang lebih bebas untuk berpikir untuk berpikir.
Filsafat Secara Etimologis
Menurut Busthan Abdy (2017), secara etimologis, kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia, merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab (فلسفة), yang semula diambil dari bahasa Yunani, yaitu philosophia, dimana kata ini diturunkan dari sebuah kata kerja, yakni “filosofein”. Kata philosophia adalah kata yang majemuk dan merupakan gabungan dari dua kata: philia (persahabatan, cinta) dan sophia (kebijaksanaan"). Sehingga pengertian harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.
Pada masa Yunani Kuno, filsafat dan ilmu jalin menjalin, dijadikan menjadi satu dan tidak terpisahkan sebagai dua hal yang berlainan, sehingga keduanya termasuk dalam pengertian “episteme”. Kata philosophia, merupakan kata padanan dari istilah episteme ini.
Filsuf besar Yunani Kuno, Aristoteles, menyatakan bahwa episteme adalah: ‘an organized body of rational knowledge with its proper object (suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat).
Jadi dalam hal ini, filsafat dan ilmu, dapatlah tergolong sebagai suatu pengetahuan rasional, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia (The Liang Gie, 2010:1).
Filsafat Menurut Ahli
Menurut Frans Magnis Suseno (2012:36) ciri khas bagi filsafat yang lahir di Yunani adalah cirinya yang argumentatif. Inilah yang membedakannya dari ajaran kebijaksanaan yang lahir di India, Cina atau di daerah Jawa. Di ketiga tempat ini, manusia juga berpikir dalam-dalam, tetapi bahwa manusia saling mengkritik, bahwa filsafat menuntut pertanggungjawaban rasional atas sebuah spekulasi, itu hanya muncul di Yunani. Karenanya, hanya filsafat argumentatif-lah yang memiliki potensialitas untuk melahirkan ilmu-ilmu, karena filsafat argumentatif sanggup mendobrak mitos, sehingga memungkinkan pendekatan spesialistik hingga menjangkau sesuatu yang eksperimental.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, orang mungkin mengatakan bahwa filsafat ‘tidak membuat roti’. Ucapan ini sepenuhnya benar, sebab filsafat tidak memberikan petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi, juga tidak melukiskan teknik-teknik baru untuk membuat bom atom. Demikian dikatakan Louis Kattsoff (2004) dalam Busthan Abdy (2017).
Meskipun filsafat tidak membuat roti, lanjut Kattsoff (2004), namun filsafat dapat menyiapkan tungkunya, menyisihkan noda-noda dari tepungnya, menambah jumlah bumbunya secara layak, dan mengangkat roti itu dari tungku pada waktu yang tepat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa, tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, sehingga dapat menerbitkan serta mengatur semua itu di dalam bentuk sistematis. Filsafat membawa kita kepada pemahaman, dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.
Jadi, filsafat berbeda sama sekali dengan membuat roti, sebab filsafat merupakan analisis secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran tentang sesuatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Dan hendaknya diingat bahwa kegiatan yang dinamakan kegiatan kefilsafatan adalah perenungan atau pemikiran. Inilah definisi filsafat yang dikatakan Kattsoff (2004) dalam Busthan Abdy (2017), bahwa kefilsafatan adalah pemikiran secara ketat. Unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah:
- Meragukan segala sesuatu.
- Mengajukan pertanyaan.
- Menghubungkan gagasan yang satu dengan yang lainnya.
- Menanyakan mengapa.
- Mencari jawaban yang lebih baik dibandingkan dengan jawaban sebelumnya atau yang tersedia pada pandangan pertama.
Ditulis Oleh: Abdy Busthan
Post a Comment